Agar Menjadi Guru Kebanggaan
KILASBERITA.ID - Setiap orang ingin orang-orang dekatnya menjadi orang kebanggaan dalam hidupnya. Orang tua ingin anaknya menjadi anak-anak yang membanggakan orang tuanya di kemudian hari.
Guru ingin anak-anak didiknya menjadi orang-orang yang membanggakan dirinya suatu saat nanti. Keinginan itu tentu tidak akan terwujud dengan mudah, perlu proses yang panjang dan terus menerus.
Menuntut anak atau anak didik menjadi orang-orang kebanggaan jauh lebih mudah daripada mencontohkan kepada mereka bagaimana caranya menjadi kebanggaan orang tua atau guru.
Guru dengan dituntut sempurna dalam bersikap, berperilaku dan bertutur kata. Karena anak didiknya terkadang akan lebih banyak mencontoh gurunya daripada orang tuanya, walaupun perkembangan saat ini figur keteladanan guru dikalahkan oleh teman sepergaulan atau artis-astis di media.
Besarnya tuntutan terhadap guru seiring kebutuhan anak didik dalam melaksanakan pembelajaran. Memang porsi peran guru di kelas berubah seiring perubahan kurikulum dan perkembangan zaman.
Namun tuntutan masyarakat terutama orang tua tidak pernah kendur, mereka selalu menginginkan guru menggantikan sepenuhnya peran orang tua dalam mendidik anak-anaknya. Wajar jika kemudian Undang-Undang Guru dan Dosen menggariskan bahwa kualifikasi guru minimal S1 dan D4 dan memiliki sertifikat pendidik.
Banyak tokoh yang menyampaikan pendapat tentang definisi atau pengertian guru, Prof. Dr. Zakiyah Darajat menyampaikan bahwa Guru merupakan pendidik profesional karena guru telah menerima dan memikul beban dari orang tuas untuk ikut mendidik anak-anak.
Dalam hal ini orang tua harus tetap sebagai pendidik yang pertama dan utama bagi anak-anaknya. Sedangkan guru ialah tenaga profesional yang membantu orang tua untuk mendidik anak-anak pada jenjang pendidikan sekolah.
Sementara menurut Undang-Undang No. 14 Tahun 2005, guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak suai dini melalui jalur formal pendidikan dasar dan pendidikan menengah.
Jadi sebutan guru sudah merupakan sebutan khusus dan tidak bisa digunakan untuk menyebutkan orang “biasa” dengan sebutan guru, karena guru sudah merupakan profesi, seperti profesi lain misalnya dokter, perawat, arsitek, dosen dan lain-lain.
Hampir setiap murid memiliki guru kebanggaannya, guru yang selalu dikenangnya. Kenangan itu muncul bisa karena cara guru itu mengajar di kelas, cara bergaul dengan muridnya, cara memperlakukan murid dengan hati yang tulus, pernah atau selalu menginspirasi, adil, tidak diskriminatif dan kabaikan-kebaikan lainnya.
Begitupun seorang guru, terlalu banyak memiliki murid yang menjadi kebanggaan, baik menyangkut prestasi akademiknya maupun akhlaknya. Guru dan murid itu membangun simbiosis mutualisme.
Simbiosis mutualisme antar guru dan murid merupakan sebuah keniscayaan karena keduanya akan terikat lama bukan hanya saat belajar melainkan selama dalam menjalani kehidupan, bahkan setelah meninggal.
Guru adalah orang tua murid di sekolah, dia menggantikan peran orang tua dalam mendidik anak-anaknya. Sangat rugi jika seorang guru hanya mentransfer ilmu dari lisannya ke otak murid-muridnya. Kesempatan berinvestasi jangka panjang dilewatkan begitu saja.
Empat kompetensi yang harus dimiliki guru sebenarnya sangatlah cukup. Namun implementasi dalam kehidupan sehari-hari baik dihadapan muridnya saat di sekolah ataupun di luar sekolah akan menjadi penentu pengambilan sikap murid apakah menempatkan guru itu di kebanggaannya atau tidak.
Guru dengan berbagai masalah yang dihadapinya tetaplah harus tampil sempurna untuk murid-muridnya, dia bak artis yang selalu menjadi pusat perhatian.
Empat kompetensi guru yakni pedagogi atau pedagogik, kepribadia, sosial dan profesional, yang menjadi pengikat paling kuat hubungan dengan muridnya adalah kompetensi kepribadiannya.
Tanpa mengecilkan tiga kompetensi yang lain, kompetensi kepribadian merupakan tali kuat pengikat hubungan antara guru dan murid-muridnya.
Menurut Undang-Undang Guru dan Dosen nomor 14 tahun 2005 pada penjelasan di pasal 10 ayat 1, kompetensi kepribadian guru adalah kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik.
Kompetensi ini erat kaitannya dengan pengaruh kuat terhadap pembentukan kepribadian murid-muridnya. Jika diibaratkan dalam pembuatan kue, maka kompetensi kepribadian guru adalah cetakannya. Sementara tiga kompetensi lainnya adalah mesin pembuat adonannya.
Tidak ada bekas guru, kalimat itu yang biasanya diucapkan untuk menunjukan bahwa guru yang pernah mengajar seorang murid adalah guru dari murid itu selamanya.
Rasa hormat, rasa takjim seseorang akan melekat kuat dan terus menerus terhadap gurunya. Jika rasa hormat (takjim) seorang rakyat terhadap pemimpinnya bisa berakhir seiring berakhirnya tugas si pemimpin, maka rasa hormat (takjim) seorang murid kepada gurunya akan terus sampai kapanpun.
Ke-takjim-an murid kepada gurunya, bukan hanya karena ketinggian ilmunya atau faktor usia yang lebih tua, namun lebih kepada akhlak dan keteladanannya. Ucapan yang baik, tutur kata yang lembut namun tetap gaul, menghargai pendapat muridnya, memberikan kesempatan kepada muridnya untuk lebih berkembang dan lebih pintar dari dirinya, sorot dan bahasa tubuh yang bersahabat merupakan beberapa contoh dan sikap yang bisa mengangkat harga diri seorang guru dihadapan murid-muridnya.
Bagaimana jika ada murid yang dirasa oleh gurunya menjadi kurang hormat setelah tidak lagi menjadi muridnya secara formal? Penghormatan seorang murid terhadap gurunya tidak harus selalu dengan sikap yang secara lahir disebut sebagai bentuk penghormatan.
Membungkukan tubuh, mencium tangan atau bahasa-bahasa tubuh lainnya hanya ekspresi luar dari seorang murid kepada gurunya dan itu bisa sebagai bentuk basa-basi saja. Rasa hormat yang sebenarnya ada dalam hatinya, mengalir dalam darahnya, terurai dalam doa-doa untuk gurunya kepada Allah Subhanahu wata'ala.
Jika memang perasaan dari guru itu terbukti benar, bahwa muridnya sudah kurang atau tidak hormat lagi kepadanya, maka kembali kepada jati diri seorang guru, dia adalah pelaku ibadah dengan pahala yang sangat besar dan akan mengalir sampai kapanpun, sampai ke liang lahat sekalipun.
Jati diri suci lainnya dari seorang guru adalah tidak mencari penghormatan dari siapapun, yang dia lakukan (disadari atau tidak) adalah memantaskan dirinya untuk tetap menjadi manusia yang layak dihormati, baik oleh orang lain apalagi oleh murid-muridnya.
Lihatlah Allah Subhanahu wata'ala mencontohkan melalui firmannya, bagaimana manusia agar pantas masuk surga:
Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat. (QS. Al-Baqarah: 214)
Bercermin dan bebenah diri, itulah cara tepat untuk memantasksn diri kita agar dihargai dan dihormati orang lain, bukan meminta apalagi memaksa. Sebab rasa hormat dan penghargaan timbul dari hati terdalam dengan dilandasi rasa yang tulus dan ikhlas. Nilai harga diri seseorang bisa tingga bisa juga rendah.
Penghargaan dari orang lain termasuk dari murid terhadap gurunya yang keluar dari hati yang tulus adalah bentuk harga diri yang tak ternilai. Penghargaan yang diminta apalagi dipaksakan seseorang terhadap orang lain adalah bentuk harga diri yang tak bernilai.
Guru kebanggaan selalu dikenang dalam hati murid-muridnya. Murid kebanggaan dapat mudah lahir dari pendidikan yang baik dari guru yang berakhlak mulia dan meneladankan.
Murid kebanggaan tidak selalu tergambar dari prestasi akademik yang hebat, jabatan atau pangkat tinggi yang diraih, melainkan tergambar dari bagaimana dia menjaga nama baik dirinya, sekolah (termasuk guru didalamnya) dan yang utama adalah integritas atau kemuliaan akhlaknya.
Seorang guru Muslim yakin pasti bahwa Rosulullah shalallaahu alaihi wasalam adalah teladan yang paling baik dalam menjalankan kehidupan, termasuk menjalankan tugas sebagai guru. Kelemahlembutan Rosulullah shalallaahu alaihi wasalam telah diceritakan oleh Anas bin Malik:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling indah budi pekertinya. Pada suatu hari beliau menyuruhku untuk suatu keperluan.
Demi Allah, saya tidak pernah bepergian untuk keperluanku sendiri, tetapi selamanya saya pergi untuk melaksanakan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepadaku. Pada saat saya pergi, dan kebetulan bertemu dengan beberapa orang anak sedang bermain-main di pasar.
Tiba-tiba Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menepuk pundakku dari belakang. Saya menengok kepada beliau, dan beliau tersenyum. Lalu kata beliau; Hai, Anas kecil! Sudahkah engkau laksanakan apa yang aku perintahkan? Jawabku; Ya, saya akan pergi untuk melaksanakannya ya Rasulullah.
Anas berkata; ‘Demi Allah, sembilan tahun lamanya saya membantu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan tidak pernah saya dapatkan beliau menegur saya atas apa yang saya kerjakan dengan ucapan; ‘Mengapa kamu tidak melakukan begini dan begitu.’ ataupun terhadap apa yang tidak saya laksanakan, dengan perkataan; ‘seharus begini dan begini.’***