Bagaimana Utopi tentang Indonesia di Tangan Prabowo ?
KILASBERITA- Indonesia berdiri di atas utopia bersama dari semua warganya. Mereka membangun kesepahaman terhadap visi dan arah kemajuan bangsa sejak pekik kemerdekaan digaungkan dari mikrofon di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, tepat pukul 10:00. Ada mimpi-mimpi kebangsaan yang tertanam di sepanjang bentang Nusantara, tentang suatu masa utopis di mana Indonesia mencapai titik paling paripurnanya. Masa utopis itu identik dengan gambaran Indonesia sebagaimana dimimpikan oleh para pejuang 10 November 1945 saat mengusung bambu runcing dalam perang berdarah melawan Belanda.
Bertolak dari sebuah harapan abstrak itu, masyarakat mulai merekonstruksi bentuk-bentuk kelembagaan konkret yang disebut sistem pemerintahan, lengkap dengan batas-batas kewenangan dan misi-misi birokrasinya. Semua dibangun untuk menunjang realisasi dari mimpi jutaan penduduknya, sebuah upaya untuk mendekati utopia tentang Indonesia yang final itu.
Di Indonesia, barangkali isi utopia itu telah terbahasakan dalam nukilan UUD 1945. Padanya termaktub tujuan-tujuan kebangsaan, "melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.” Indonesia yang tuntas atau utopis hanya mungkin terpenuhi saat bangsanya sudah hidup aman tanpa ketakutan, sudah sejahtera, sudah cerdas dan sudah turut menjaga tatanan dunia seturut nilai kemerdekaan, perdamaian dan keadilan sosial.
Membaca Utopi ala Ernst Bloch (1885-1977)
Menurut saya, horizon-horizon itu masih merupakan sebuah utopia, artinya belum tergapai. Dibaca oleh Ernst Bloch, utopia itu realitas ‘yang-belum’ (das Noch-Nicht), sesuatu yang masih ditangguhkan manifestasinya. Ia hanyalah gambaran yang sedang tidak-ada (das Nicht) saat ini selain hanya sebagai “masa depan yang masuk ke dalam fantasi”. Indonesia saat ini belum kukuh sebagai Indonesia di titik akhir, sebagaimana dicita-citakan sejak dulu. Yang hadir saat ini adalah prototipe yang masih perlu diperbaiki dan dibarui.
Indonesia dalam mimpi UUD/45 merupakan latensi, sebuah kemungkinan yang masih tersembunyi dan belum ada. Tapi bangsa ini sudah dan sedang bergulat dengan tendensi komunalnya untuk menyibakkan ‘yang-belum’ dan mewujudkan yang masih di angan-angan itu. Aristoteles menamai ‘tendensi’ semacam ini sebagai “entelekhi”; prinsip bahwa segala sesuatu selalu terarah pada kepenuhan eksistensialnya yang paling sempurna.
Menurut Bloch, segala sesuatu memang memiliki kecenderungan untuk mewujudkan kepenuhan internalnya. Manusia bertumbuh sambil berjuang memenuhi potensi-potensinya, demikian pun sebuah negara berkembang sambil menjelmakan cita-cita kebangsaannya. Ironisnya, cita-cita Indonesia masih berada dalam bentuk mitos yang enak didengar tapi kontra-faktual. Indonesia di titik omega (dibaca= akhir) masih berupa utopi yang nir-bentuk dan tak pernah tuntas dijumpai dalam zaman pemerintahan siapa pun sejak Soekarno sampai petahana-petahana selanjutnya.
Rezim pemerintahan konstan berganti.
Sejak tahun 1945, kita telah mengadakan enam kali pemilu demokratis (1999, 2004, 2009, 2014, 2019, 2024), dengan delapan presiden, tapi ironisnya tak pernah satu pun ada masa di mana Indonesia berdiri sempurna seturut utopia UUD/45. Dari satu masa ke masa lain, Indonesia selalu menghadapi dua paradoks; entah eskalasi atau desolasi, antara kemajuan yang parsial semata atau kehancuran total. Karena Indonesia yang paripurna tak kunjung terjelma, mungkin kita masih harus bersabar untuk menantinya pada rezim-rezim anonim di masa depan kelak.
Indonesia Masih ‘Kabur’ di Tangan Prabowo
Utopi tentang Indonesia yang eminen dan superior masih berlanjut pada masa pemerintahan selanjutnya. Sejak dilantik pada 20 Oktober 2024, pasangan Prabowo-Gibran kini melanjutkan estafet pemerintahan negara. Bersama dengan tanggungjawab besar itu, mereka memikul darma untuk mewujudkan ideal-ideal kenegaraan. Berbeda dengan cara-cara pendekatan petahana sebelumnya, mantan menantu Soeharto ini membawa sebuah kebaruan dalam kebijakan-kebijakannya. Program-program dan reformasi birokrasi yang ditetaskan oleh kabinet barunya disinyalir mampu mereparasi kelemahan pada pemerintahan sebelumnya. Namun, apakah pembaruan-pembaruan substansial itu mampu mengantar bangsa semakin dekat pada utopia Indonesia, hal itu masih merupakan tanda tanya besar.
Untuk mewujudkan Indonesia yang sedemikian ‘kamil’ seturut utopi bangsa, Prabowo-Gibran menetapkan 8 program terbaik tercepat dan, tak tanggung-tanggung, 17 program prioritas. Tampaknya, 17 prioritas dalam kebijakan Prabowo merangkum cukup banyak tema esensial, mulai dari swasembada pangan, reformasi birokrasi, kemiskinan, penanganan jaringan narkoba, layanan kesehatan, pendidikan, digitalisasi sistim, kesetaraan gender, pembangunan, UMKM, industrialisasi, kerukunan beragama, seni budaya hingga prestasi olahraga nasional.
Tema-tema ini kontekstual terhadap permasalahan Indonesia saat ini. Sungguh beralasan bahwa Prabowo memusatkan kerja-kerja politiknya untuk menambal-sulam lubang-lubang pembangunan yang tidak bisa dituntaskan oleh mantan-mantan presiden sebelumnya. Presiden terpilih menunjukkan wawasan yang mendalam terkait isu-isu kebangsaan dengan misi yang jelas, terukur dan komprehensif. Penanganan yang tepat terhadap poin-poin prioritas itu memperjelas arah roda pemerintahan dan sekilas berpotensi mewujudkan visi utopis Indonesia.
Namun, akan terasa terlalu tergesa-gesa jika kita menakrifkan kebijakan-kebijakan pemerintah baru sebagai jalan bebas hambatan menuju Indonesia seturut cita-cita UUD/45. Menurut saya, utopi itu masih tampak kabur. Ada kebingungan dan kegamangan yang timbul dari program-program itu. Ada pertanyaan-pertanyaan esensial yang mesti diajukan lebih lanjut di balik semua kebijakan itu agar kita tidak mabuk pada ilusi tentang ‘optimisme semu’, agar kita tidak bereuforia pada fantasi politik semata. Beberapa program tampak terbentur pada kondisi-kondisi sosial laten, sedangkan yang lain tampaknya saling bertentangan.
Program-Program Kerja dan Dilemanya
Pada isu pemerataan ekonomi, Prabowo-Gibran berikhtiar menggerakkan roda-roda perekonomian di semua daerah. Perluasan lapangan pekerjaan dan akses kesempatan kerja sangat dibutuhkan oleh Masyarakat dewasa ini, khususnya di daerah-daerah tertinggal. Namun, seringkali di balik angan-angan peningkatan ekonomi, ada ketimpangan-ketimpangan periferal yang tidak kelihatan.
Konteks NTT patut menjadi gambaran yang nyata. Para investor asing dan pelaku-pelaku bisnis milik pendatang justru menikmati keuntungan yang jauh lebih besar dalam aktivitas ekonomi lokal. Para pemain utama dalam dinamika ekonomi setempat justru merupakan orang-orang asing. Masih cukup banyak masyarakat NTT yang menjadi pekerja kasar, buruh, kuli dan karyawan di perusahaan-perusahaan milik orang-orang China, Makasar atau Jawa. Orang-orang NTT, juga di daerah-daerah lain, menjadi pekerja di tanahnya sendiri. Lantas, bagaimana interpretasi Prabowo atas ideal ‘pemerataan ekonomi’ dijabarkan di berbagai daerah?
Selanjutnya, program pembangunan rumah murah dapat mengancam tatanan sosial-ekologi. Prabowo-Gibran, melalui Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), bertekad membangun tiga juta hunian bagi masyarakat. Tak tanggung-tanggung, program ini mengajukan pembebasan dan pemanfaatan lahan seluas 1.000 hektar di Banten. Dengan anggaran sebesar 3,5 triliun, program ini ditakutkan menggusur lahan-lahan hijau dan produktif.
Selain itu, sebagai catatan peringatan, program ini tampaknya akan sulit terealisasi di wilayah-wilayah yang kontur budayanya masih kental. Di NTT, konstruksi hunian masyarakat lokal menyesuaikan pemaknaan adat, mulai dari bentuk rumah, komposisi, material, fungsi hingga tata letaknya. Pertimbangan-pertimbangan ini tentu tidak akan diperhatikan, sebab program pusat disinyalir hanya membangun rumah dengan model dan tatanan yang homogen, terlepas dari pemaknaannya secara holistik. Bagaimana cara pemerintah membangun simpul pembangunan yang akomodatif terhadap konteks lokal?.
Dalam salah satu program lain, pemerintah bertekad mereformasi tatanan lembaga. Di masa Prabowo Subianto, kuota kabinet membengkak, untuk tidak dikatakan obesitas. Postur proporsi anggota kementerian bertambah. Bila dikalkulasi secara tepat, kini terdapat 109 tenaga inti pemerintah yang terdiri atas 48 kementerian, 5 badan dan 56 wakil menteri. Sebagai konsekuensinya, anggaran untuk kerja-kerja kementerian turut meningkat, pasalnya beberapa cabang kementerian baru memerlukan kantor dan jatah anggaran yang besar.
Penyesuaian dan penataan bidang-bidang baru kementerian ini membutuhkan tidak saja redefinisi terkait kewenangan-kewenangannya, melainkan pula sokongan dana untuk memungkinkan bergulirnya program. Dalam mengatur kelembagaannya, pemerintah harus juga bijak mempertimbangkan ‘efektivitas dan efisiensi’ seturut teori organisasi. Di tengah karut marut tatanan ekonomi Indonesia saat, lantas siapa yang harus bertanggung jawab terhadap beban finansial dari upaya bongkar-tambah-pasang lembaga-lembaga kementerian ini? Saya harap bukan rakyat.
Bercermin dari beberapa catatan kritis tersebut, saya sepakat bahwa geliat langkah maju yang diperjuangkan pemerintahan baru belum jadi jaminan yang ajek terhadap nasib bangsa lima tahun mendatang. Utopi tentang Indonesia masih kabur. Memang sejatinya bukan politik namanya jika tidak ada sengkarut dan kompleksitas.
Ranciere, filsuf asal Prancis (1940), bahkan selalu mengidentikkan politik (le politique) sebagai ruang di mana perselisihan dan pendisrupsian terhadap tatanan dominan (le police) rutin terjadi. Untuk itu, utopi tentang Indonesia yang final selalu harus di tempatkan pada perjuangan yang berdarah-darah dan berliku-liku. Namun, ini bukan berarti menjustifikasi pesimisme. Justru, usaha mewujudkan utopia itu adalah tuntutan kewajiban semua kita, bukan hanya Prabowo-Gibran dan kabinet Merah Putihnya.
Penulis : Penulis
Geovanny Calvin, S. Fil., M. Th.
Editor : Randy Tukan.

