Izin Pertambangan Bagi Kampus membunuh Hati Nurani Pendidikan
KILASBERITA- Dalam meta history Dunia pendidikan secara fundamental didirikan atas dua kepentingan yakni untuk kehidupan akal dan hati nurani. Pada abad pertengah antara abad 15-16, kedua kepentingan ini sempat pisah ranjang karena adu seni antar golongan. Dalam dunia pendidikan kala itu, satu pihak seperti golongan sekolahtisisme mengutamakan akal budi dalam dunia pendidikan dan yang lain hati nurani. Walaupun demikian keduanya kembali bersetubuh dan melahirkan pendidikan yang digunakan sekarang yang bukan saja memberikan imun bagi akal tetapi juga hati nurani sehingga keduanya selaras menjadi satu wada.
Saya coba melangkah dengan membuat perbandingan ijin pengelolaan tambang untuk kampus dan tulisan Francesco Petrarca seorang pendiri humanisme ketika mempertahankan pentingnya hati nurani dalam pendidikan, melawan kaum sekolahtisisme yang mengutamakan akal budi, di abad pertengahan. Beliau menulis, "Untuk apa mengetahui apa itu keutamaan jika keutamaan itu, tidak dicintai setelah mengetahuinya. Selebihnya untuk apa mengetahui apa itu dosa jika tidak dibenci setelah mengetahuinya".
Konsekuensi kampus kelola tambang adalah matinya hati nurani.
Akir-akir ini muncul polemik yang dahsyat di lingkaran pendidikan terutama kampus. Mengapa? Munculnya Wacana terkait kampus untuk mengelola tambang dalam usulan pemerintah pusat Pasal 51A Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan Keempat atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Dalam kebijakan pemerintah ini, saya coba memperbandingkan konsekuensi
Jika peraturan ini dijalankan, apakah membunuh hati nurani dalam pendidikan atau bukan dari prespektif Francesco Petrarca (1304-1374).
Pertama, tetang keutamaan Kampus. " Untuk apa mengetahui apa itu keutamaan jiak tidak dicintai setelah mengetahuinya?". Ungkapan Francesco ini harus menjadi bahan refleksi dunia pendidikan terutama kampus. Apakah kelola tambang termasuk dalam keutamaan perguruan tinggi yakni pendidikan, penelitian, riset, dan pengabdian masyarakat? tentunya tidak! Pertambangan secara pendidikan sudah di ketahui kampus bawa pertambangan adalah eksploitasi besar-besaran dengan merusak lingkungan, artinya hati nurani tidak digunakan dalam bisnis tambang. Penelitian yang dilakukan juga tidak lain, dilakukan oleh pihak kampus dengan risetnya, lalu diajarkan kepada masyarakat sebagai pengabdian. Jika kampus mengelola tambang artinya apa yang diajarkan kampus berabad-abad tetang keutamaan dari pendidikan musnah, karena keutamaan yang sudah diketahui tapi tidak dicintai. Maka awal kematian hati nurani pendidikan adalah mengetahui keutamaan tapi tidak mencintainya.
Kedua, " Untuk apa mengetahui dosa jika tidak dibenci setelah mengetahuinya". dalam dunia pendidikan terutama kampus adalah wadah yang tepat untuk berpikir menggunakan hati nurani dan akal. Dimana akal mempertimbangkan untung dan rugi sedangkan hati nurani menggunakan pertimbangan manusiawi atau tidak, jujur atau tidak. Jika pertambangan dijalankan kampus, satu kepastian yang tak luput dari kenyataan adalah kampus akan kehilangan pertimbangan hati nurani. Kehilangan pertimbangan manusiawi atau tidak, sopan atau tidak, jujur atau tidak. Karena yang dikejar kampus adalah untung atau tidak. Artinya enta manusiawi atau tidak, sopan terhadap lingkungan atau tidak, jujur atau tidak, adil atau tidak semuanya akan disingkirkan demi mencapai keuntungan. Dengan demikian kampus akan menjadi tempat paling kompleks untuk bertapa, karena strategi pemerintah untuk membungkam suara kritis yang muncul dari hati nurani secara halus, dilahap kampus secara sukacita. Kampus tidak lagi menjadi jembatan pejuang ketidak adilan, tidak sopanan, tidak manusiawian karena pola pikir yang digunakan adalah pola pikir keuntungan, walaupun merusak hati nurani. Contoh sederhananya apakah kampus akan bersuara secara kritis ketika melihat derita lingkungan yang kian hari semakin para karena pertambanagan? Tentunya tidak, kampus akan menjadi bungkam karena salah satu pelakunya adalah kampus sendiri. Maka matinya hati nurani pendidikan selanjutnya adalah mengetahui sesuatu yang salah tapi tidak membenci melainkan mencintainya.
Dengan demikian kematian hati nurani menurut Prespektif Francesco Petrarca (1304-1374), sangat relevan bagi Kampus jika menjalankan wacana politik itu. Sebab keutamaan kampus yang tidak dicintai kampus, adalah dosa kampus yang tidak dibenci setelah mengetahuinya.
Akir tulisan ini saya membuat kesimpulan bawhwa wacana Kampus kelola tambang adalah awal kematian hati nurani dalam pendidikan. Dengan demikian apalah artinya pendidikan jika tanpa hati nurani yang selalu bertanya, manusiawi atau tidak, sopan atau tidak, adil atau tidak, jujur atau tidak, rama lingkungaan atau tidak, merusak atau tidak.
Penulis : Randy Tukan.
![Daisy Floren](https://www.kilasberita.id/assets/themes/oduu-interactive/desktop/img/user.png)
![Daisy Floren](https://www.kilasberita.id/assets/themes/oduu-interactive/desktop/img/user.png)