Mafia Tanah di Labuan Bajo Dimulai Terjadinya SHM Menjadi SHGB
LABUAN BAJO - Pada Desember 2023, dugaan skenario jahat di balik perubahan status Sertifikat Hak Milik (SHM) menjadi Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) di kantor BPN Manggarai Barat mencuat ke publik.
Gatot Suyanto, Kepala BPN Manggarai Barat, diduga terlibat dalam pengubahan SHM Nomor 05245 milik Maria Fatmawati Naput menjadi SHGB Nomor 00176 dengan luas 27.720 m² yang terletak di Keranga, Labuan Bajo, Kecamatan Komodo, Manggarai Barat, NTT.
Perubahan status SHM menjadi SHGB ini mendapat sorotan publik lantaran tanah tersebut sedang dalam sengketa yang melibatkan sejumlah pihak, termasuk laporan pidana dan gugatan perdata yang belum tuntas.
Dr. (c) Indra Triantoro dan Jon Kadis, SH, penasihat hukum keluarga Ibrahim Hanta, menjelaskan bahwa perubahan status SHM ke SHGB tersebut diduga melibatkan konspirasi antara BPN Manggarai Barat, Maria Fatmawati Naput, dan Ika Yunita, yang adalah sekretaris pribadi Kadiman Santosa, pemilik Hotel St. Regis dan pembeli lahan dari keluarga Naput.
Kecurigaan adanya konspirasi menguat karena pada September 2023, permohonan perubahan status tanah ini ditandatangani oleh Ika Yunita atas nama Maria Fatmawati Naput. Padahal, pihak penggugat telah mengajukan pemblokiran status tanah tersebut pada 29 September 2022 sebagai upaya menghindari manipulasi status sebelum proses hukum selesai.
"Tanah ini telah lama bersengketa dan dicatat dalam laporan pidana di Polres Manggarai Barat sejak 13 September 2022 oleh keluarga almarhum Ibrahim Hanta, yang mengklaim sebagai pemilik sah. Keluarga Hanta telah menempuh dua jalur hukum, yakni laporan pidana ke Polres dan gugatan perdata di Pengadilan Negeri Labuan Bajo," jelas Indra
Pada Januari 2024, Satgas Mafia Tanah Kejaksaan Negeri Labuan Bajo memeriksa status lahan tersebut setelah menerima laporan dari penggugat. Hasil pemeriksaan mengungkap bahwa tanah yang tercantum dalam SHM Maria Fatmawati Naput dan Paulus G. Naput sebenarnya salah lokasi dan tidak sesuai dengan warkah atau bukti kepemilikan adat.
"Berdasarkan pemetaan yang dilakukan, tanah yang ditunjukkan di SHM berada di lokasi yang salah, memperkuat dugaan adanya praktik mafia tanah," kata Indra
Sementara itu, Jon Kadis, SH membeberkan fakta-fakta yang mengejutkan selama persidangan di Pengadilan Negeri Labuan Bajo, diantaranya:
1. Klaim Warisan Tanah oleh Keluarga Ibrahim Hanta
"Menurut Muhammad Rudini, tanah tersebut diwarisi dari ayahnya, almarhum Ibrahim Hanta, dan telah dikuasai sejak 1973. Namun, pada 2017, muncul dua SHM atas nama keluarga Naput di atas tanah yang sama," kata Jon
2. Temuan Satgas Mafia Tanah
"Pada 16 Januari 2024, Satgas bersama BPN Manggarai Barat menemukan bahwa SHM atas nama Maria dan Paulus Naput salah penempatan, tidak sesuai batas-batas yang diatur dalam warkah asli," ungkap Jon
3. Kekuatan Pengakuan Haji Ramang Ishaka
"Dalam persidangan, Haji Ramang Ishaka sebagai tokoh adat mengakui bahwa tanah tersebut bukan milik keluarga Naput, berdasarkan keputusan adat yang membatalkan kepemilikan tanah atas keluarga Naput pada 1998," jelas Jon
4. Dokumen yang Tidak Sesuai
"BPN Manggarai Barat hingga saat ini belum mampu menunjukkan warkah asli yang menjadi dasar penerbitan SHM untuk keluarga Naput, memperkuat dugaan ketidakberesan dalam pengurusan sertifikat ini," lanjutnya
5. Tindakan Notaris yang Dipertanyakan
"Notaris Billy Ginta diduga terlibat dalam pembuatan akta jual beli tanpa memperhatikan status kepemilikan sah tanah. Akta jual beli ini menggunakan dokumen yang diduga sudah batal," jelas Jon
Putusan PN Labuan Bajo
Pada Oktober 2024, Pengadilan Negeri Labuan Bajo akhirnya memenangkan keluarga ahli waris Ibrahim Hanta. Majelis hakim mengabulkan sebagian besar gugatan penggugat, yang berarti tanah seluas 11 hektar di Keranga sah dimiliki oleh keluarga Ibrahim Hanta. Hakim menyatakan bahwa tindakan tergugat, termasuk keluarga Naput dan BPN, sebagai perbuatan melawan hukum karena mengubah lokasi dan batas tanah tanpa dasar yang jelas.
Putusan ini juga membatalkan sertifikat hak milik atas nama Maria Fatmawati Naput dan Paulus Grant Naput yang terbit pada Januari 2017, karena sertifikat tersebut tidak memiliki kekuatan hukum. Para tergugat diminta untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp3.218.500.
Jon Kadis, SH., salah satu kuasa hukum penggugat, menyatakan bahwa dengan adanya putusan ini, penggugat kini memiliki kepastian hukum atas tanah tersebut. Menurutnya, putusan ini memberikan kejelasan bagi para pihak dan menjadi tanda positif bahwa sistem hukum berjalan dengan baik, terutama dalam menangani praktik mafia tanah.
Kadis menambahkan bahwa para tergugat memiliki hak untuk banding, tetapi ia meragukan hasil banding tersebut mengingat sejumlah fakta kuat dan bukti yang telah dikumpulkan oleh Satgas Mafia Tanah.
Kasus tanah Keranga ini menjadi sorotan publik karena diduga melibatkan jaringan mafia tanah dengan memanfaatkan celah administratif di BPN.
"Keputusan Pengadilan Negeri Labuan Bajo diharapkan menjadi pelajaran penting dan langkah awal dalam membasmi praktik mafia tanah di NTT. Selain itu, keputusan ini menunjukkan pentingnya pengawasan hukum dan akuntabilitas instansi pemerintah dalam menjaga kepemilikan tanah warga agar tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak yang mencari keuntungan pribadi," tegas Jon Kadis
Tuntutan Keluarga Hanta kepada Penegak Hukum
Meskipun sudah ada putusan pengadilan yang menguatkan klaim keluarga almarhum Ibrahim Hanta, mereka masih menghadapi kendala dalam proses hukum pidana.
Keluarga alm. Ibrahim Hanta mendesak agar Polres Manggarai Barat segera melanjutkan penyelidikan terhadap Laporan Polisi (LP) yang telah diajukan sejak 13 September 2022.
Hingga saat ini, pelapor belum menerima Surat Pemberitahuan Perkembangan Hakim (SP2HP) atau informasi mengenai perkembangan kasus tersebut.
"Mengingat beratnya dugaan konspirasi dan keterlibatan pejabat tinggi seperti Kepala BPN, kami mendesak Polres Manggarai Barat untuk segera menindaklanjuti laporan kami. Kami berhak mendapatkan kejelasan dan keadilan atas kasus ini," ujar Muhammad Rudini, ahli waris almarhum Ibrahim Hanta. Fr/***