Mengkritisi Program Guru Penggerak: Diskriminasi Terhadap Guru Senior dan Potensi Gangguan Otonomi Daerah
Program Guru Penggerak (GP) di Indonesia diluncurkan dengan tujuan meningkatkan kualitas pendidikan dan memberdayakan guru sebagai agen perubahan.
Namun, belakangan ini program tersebut menuai kritik, terutama terkait diskriminasi terhadap guru
senior, tuntutan tambahan yang mengganggu tugas utama, serta potensi intervensi terhadapotonomi daerah dalam pengangkatan kepala sekolah dan pengawas.
Diskriminasi Terhadap Guru Senior
Salah satu kritik utama terhadap program GP adalah adanya pembatasan usia bagi peserta.Guru yang berusia di atas 50 tahun dilarang mengikuti program ini, yang memunculkan anggapan bahwa guru senior dianggap kurang mampu beradaptasi atau berinovasi.
Kebijakan ini tidak hanya menafikan pengalaman dan kontribusi guru senior dalam dunia pendidikan, tetapi juga bertentangan dengan prinsip pendidikan inklusif yang mengutamakan kesetaraan bagi semua tenaga pendidik.
Padahal, guru senior memiliki pengalaman yang sangat berharga dan telah menunjukkan dedikasi bertahun-tahun dalam mendidik generasi muda.
Tuntutan Kegiatan Tambahan yang Membebani Tugas Utama
Program GP seringkali mengharuskan peserta mengikuti berbagai pelatihan dan kegiatan tambahan yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas pengajaran.
Namun, dalam praktiknya, banyak guru yang merasa bahwa kewajiban tersebut mengganggu tugas pokok dan fungsi (tupoksi) utama mereka sebagai pendidik.
Tuntutan mengikuti kegiatan pendukung yang bukan tupoksi ini membuat beberapa guru terpaksa meninggalkan kewajiban utamanya di kelas.
Ironisnya, di tengah kekurangan tenaga pengajar di banyak sekolah, program ini justru memperbesar beban administratif dan non-pengajaran yang tidaklangsung berdampak pada kualitas pendidikan siswa.
Sertifikasi Guru Penggerak Sebagai Syarat Menjadi Kepala Sekolah dan Pengawas
Penggunaan sertifikat GP sebagai syarat untuk menjadi calon kepala sekolah dan pengawas juga menjadi bahan perdebatan. Kebijakan ini dianggap berpotensi menggangguotonomi daerah, karena kehadiran program GP dapat diartikan sebagai bentuk intervensi terhadap wewenang pemerintah daerah dalam pengangkatan kepala sekolah dan pengawas.
Setiap daerah memiliki keunikan tersendiri dalam menjalankan pendidikan, danpersyaratan sertifikat GP ini justru mengikat kewenangan daerah tersebut. Padahal, peran kepala sekolah dan pengawas sangat penting dalam memahami kondisi lokal sekolah yangdikelola, yang seringkali berbeda antara satu daerah dengan daerah lain.
Tantangan Otonomi Daerah dalam Dunia Pendidikan
Otonomi daerah memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah dalam mengelola pendidikan sesuai dengan kebutuhan lokal.
Namun, dengan menjadikan sertifikat GP sebagai syarat wajib untuk jabatan kepala sekolah dan pengawas, kewenangan pemerintahdaerah secara langsung terbatasi oleh kebijakan pusat. Otonomi daerah memungkinkanpemerintah setempat untuk memilih dan menempatkan figur-figur terbaik yang memahamikebutuhan sekolah di daerahnya. Persyaratan program GP ini berisiko menimbulkan
ketidakpuasan di tingkat daerah, serta menciptakan kesan bahwa program GP adalah bentuk sentralisasi kebijakan pendidikan yang bisa mempengaruhi otonomi pengelolaan daerah.
Rekomendasi dan Solusi
1. Perluasan Kriteria Peserta Program GP
Program GP sebaiknya membuka kesempatan bagi guru berusia di atas 50 tahun untukberpartisipasi. Pengalaman dan kedewasaan yang dimiliki guru senior bisa menjadi asetberharga dalam mendukung perubahan positif di sekolah.
2. Penguatan Tugas Utama Guru
Kegiatan yang diberikan dalam program GP perlu dievaluasi, sehingga tidak mengganggutugas utama guru sebagai pendidik.
Beban tambahan yang sifatnya administratif dan non-pengajaran sebaiknya dikurangi agar guru bisa fokus pada kualitas pengajaran.
3. Peninjauan Kembali Persyaratan Sertifikat GP untuk Jabatan Kepala Sekolah dan Pengawas
Perlu ada dialog antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk mengevaluasi penggunaan sertifikat GP sebagai syarat wajib.
Persyaratan ini sebaiknya tidak menjadi penghalang bagi pemda dalam memilih kepala sekolah dan pengawas yang sesuai dengan karakteristik lokal daerah mereka.
Kesimpulan
Program Guru Penggerak sebenarnya memiliki niat baik untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, tetapi pelaksanaannya perlu diperhatikan agar tidak menimbulkan diskriminasi, membebani tugas utama guru, atau mengganggu otonomi daerah.
Dengan mempertimbangkan kritik dan saran di atas, diharapkan program ini bisa lebih inklusif, memberdayakan semua guru tanpa diskriminasi, dan tetap menghormati wewenang pemerintah daerah. ***
Penulis : H. Ridwan
Wakil Kepala SMPN 3 Ciawi, Kabupaten Bogor